Maafkan
Aku Istriku
Suatu malam ketika aku kembali ke rumah, istriku
menghidangkan makan malam untukku. Sambil menggengam tanganya aku berkata “Saya
ingin mengatakan sesuatu padamu”, istriku lalu duduk di sampingku. Tiba-tiba
saja aku tak tahu harus memulai percakapanya dari mana. Kata-kata rasanya berat
keluar dari mulutku.
“aku
ingin sebuah perceraian di antara kami “. Maka dari itu aku beranikan diri. Sepertinya
ia tak keberatan dengan ucapanku, dia malah bertanya “ Mengapa ?”, namun aku
enggan untuk menjawabnya, hal itu membuat istriku sangat marah padaku. Hingga
ia memilih pergi ke kamar dan menangis.
***
Keesokan
harinya aku pulang lebih larut, aku sengaja tak makan malam dan segera menuju
ruang kamar untuk tidur karena kantuk tak tertahan lagi. Karena seharian ini
aku pergi bersama Veronica. Setiba di ruang kamar aku dapati istriku sedang
menulis di meja sudut ruangan sambil menangis. Tapi aku tak menghiraukannya,
bagiku air matanya kini sudah tak berarti apa-apa. Aku langsung saja merebahkan
tubuhku di kasur, hingga akhirnya benar-benar terlelap. Pagi harinya istriku
memberikan surat yang semalaman ia tulis kepadaku. Surat yang berisi
persetujuan untuk perceraian kami dengan syarat memberikan waktu satu bulan
lagi, dan bersikap biasa saja seperti tak terjadi apa-apa. Karena ia tak ingin
putri kami jadi kepikiran hingga mengganggu ujiannya yang tinggal beberapa hari
lagi. Dan istriku juga meminta agar aku menggendongnya setiap bangun tidur dari
kasur hingga keluar pintu kamar selama satu bulan. Aku fikir dia sudah gila.
Mana bisa aku menggendong wanita yang sudah terasa asing di hatiku. Tentu saja
hal ini aku ceritakan kepada Veronica. Veronica tertawa terbahak-bahak
mendengar ceritaku. Ia hanya berkata “Turuti saja kemauannya, yang penting
suatu saat nanti ia akan menghadapi hari perceraiannya denganmu yang sudah kita
rencanakan”. Lalu aku berfikir lagi apa salahnya aku memberikan kenangan manis
di detik-detik perceraian kami.
***
Hari pertama aku
menggendongnya, kakiku terasa kaku untuk melangkah, aku merasa sudah sangat
asing dengan wanita yang telah sepuluh tahun hidup bersamaku.
Keesokan harinya aku kembali menggendongnya,
perasaan itu masih saja sama. Perasaan asing pada istriku sendiri. Hari ketiga
aku menggendongnya, aku mulai merasa terbiasa, perasaan asing itu perlahan-lahan
mulai hilang.
Prok...prok...prok... tepukan putriku ketika melihat aku sedang
menggedong mamahnya. “Ayah romantis sekali”, teriaknya dari sudut ruang makan.
Setiap hari ketika bangun tidur, aku selalu menggendong istriku dari kasur
sampai keluar pintu kamar sesuai permintaannya.
Ini hari ke sepuluh aku
menggendongnya, aku mulai mearasakan perasaan yang dulu tumbuh lagi. Perasaan
dimana saat pertama kali aku menggendongnya saat awal pernikahan kami. Aku
pandangi wajahnya yang telah lama aku acuhkan, wajah dengan kulit yang hampir
keriput, dengan rambut yang sudah berganti warna jadi putih. Wajah yang dulu
sangat aku cintai, aku sudah bersalah kepadanya, aku telah menginginkan
perceraian pada wanita cantik yang sangat aku cintai, wanita cantik yang tulus
membuang waktunya sia-sia untukku sepuluh tahun lamanya.
Hari ke sebelas, dua belas, tiga belas, bahkan
sampai pada hari ke tiga puluh, aku terus menggendongnya.
Ini hari terakhir ku
menggendong istriku sesuai permintaannya. Harusnya aku senang, karena sebentar
lagi aku akan bercerai dengannya dan menikah dengan Veronica, namun terasa
berat sekali untuk melepaskannya dari gendonganku. Aku mulai sadar dengan rasa
cintaku padanya yang dulu, ternyata masih tetap sama, bahkan kini perasaan itu
semakin kuat.
***
Aku segera pergi ke rumah Veronica untuk bicara
padanya.
“Sayang, bagaimana dengan pernikahan
kita?, kapan acaranya akan di lakukan?” pertanyaan Veronica menyambut
kedatanganku ke rumahnya.
“Maaf Veronica kita tidak akan
pernah menikah !” jawabku tegas.
“Maksudmu ?” pertanyaan
Veronica singkat, namun terlihat sangat penasaran mengapa aku sampai
membatalkan pernikahanku dengannya.
“Aku
tidak akan menceraikan istriku, semenjak menggendongnya selama sebulan, aku
sadar bahwa aku masih sangat mencintainya, dan aku tak akan rela menceraikannya
!”. ucapku padanya.
aku mencoba menjelaskannya pada Veronica, namun
ia sangat marah dan tidak terima dengan keputusanku.
Plaaaakkkk...Plaaakkk...!!!!
Tamparan Veronica mendarat di kedua belah
pipiku. “Kamu boleh menamparku Veronica, namun aku tak akan pernah menceraikan
istriku ! permisi !”. ucapku sambil berjalan cepat menuju mobilku, yang ku
parkirkan di depan halaman rumah Veronica.
Aku
mengendarai mobilku dengan kecepatan maksimal, aku tak sabar untuk memberi tahu
istriku bahwa aku tak akan menceraikannya. Aku ingin menggendongnya setiap pagi
sampai ajal memisahkan kami berdua.
*sesampainya di rumah*
Aku segera menuju ruang
kamarku, betapa terkejut dan tak percaya, istriku telah tergeletak tak bernyawa
di kasur. Dia meninggal karena sakit kanker hati pedium 4. Penyakit yang telah
sekian lama di deritanya dan di rahasiakannya padaku. Ternyata ia tahu bahwa
usianya sudah tidak akan lama lagi. Ia sengaja memintaku untuk menggendongnya
setiap bangun tidur seperti janjiku padanya dulu, yang akan selalu
menggendongnya setiap bangun tidur sampai ajal memisahkan kami berdua. Dan ia
telah membebaskanku dari prasangka buruk putri kami, jika putri kami tahu aku
hendak menceraikan istriku, mamahnya. Dengan kepergiannya ia telah mengalah
demi memenuhi keinginanku untuk bercerai dengannya. Dengan kepergiannya ia telah
membebaskanku dari perceraian dan dari kebencian putriku. Maafkan aku istriku,
maafkan aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar